Jumat, 17 Januari 2014
USAHA DI KURSI RODA
Kundiarto (39) mungkin tidak seberuntung kebanyakan orang yang bisa berjalan normal. Hampir 14 tahun, warga asli Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat, ini beraktivitas dari satu tempat ke tempat lainnya menggunakan kursi rodanya. Masa-masa sulit itu tidak membuat Kundiarto pasrah dengan keterbatasanya.
Mengais rezeki di Ibu Kota, bertahun-tahun sudah dilaluinya dengan berjualan menggunakan tongkat dan kursi roda untuk menyambung hidup. Kundiarto menceritakan kenyataan pahit yang mesti dirasakannya berawal pada 17 Juni tahun 2000 lalu.
Dia jatuh sakit dan mesti mendapatkan perawatan. Keluarga mencoba mengantarnya ke berbagai rumah sakit di Jakarta pada hari itu. Namun, keesokan harinya, Kundiarto baru bisa mendapatkan perawatan di RSCM.
"Selama lebih kurang 3 bulan saya di RSCM. Waktu itu, diopname di ICU sama scan saraf otak," ujar Kundiarto, memulai kisahnya, kepada Kompas.com, beberapa waktu lalu.
Ia bahkan sempat koma selama dua hari ketika itu. Rupanya, kata dia, ada gangguan yang menyerang saraf otaknya.
Berbagai obat sudah dirasakannya selama dirawat. Ia pun harus dipasangkan selang, baik untuk menyuplai makan maupun untuk keperluan buang air besar. Beberapa bulan dirawat, rupanya perkembangan kesehatan Kundiarto tak kunjung membaik. Keluarga pun memutuskan untuk membawanya pulang, di samping karena tak mampu untuk melanjutkan biaya pengobatan.
Kundiarto bukan orang berada sehingga tak mampu melunasi biaya pengobatannya. Kala itu, dia bekerja sebagai office boy di sebuah perusahaan Korea di Jakarta Selatan. Biaya pengobatan yang meski ditanggung ternyata sekitar Rp 20 juta. Untungnya, uluran tangan dari tempatnya bekerja, tetangga, dan teman pengajian membuatnya dapat membayar biaya pengobatan itu. Tetapi, orangtua Kundiarto juga mengeluarkan biaya tak sedikit dari jumlah itu, yakni separuh biaya pengobatannya.
Keluar dari RSCM, ia pun hanya menjalani perawatan tradisional agar sakitnya itu dapat pulih. Ia pun sudah tidak dapat berjalan semenjak keluar dari rumah sakit. Dengan apa yang dialaminya itu, pelan-pelan Kundiarto mendapat bantuan dari berbagai pihak, termasuk satu unit kursi roda dari seorang pengusahafurniture yang membantunya untuk berjualan saat ini.
Selain kursi roda, ia juga mendapat bantuan pengobatan dari sebuah gereja di Melawai, Jakarta Selatan. Di sana, Kundiarto mengetahui bahwa dirinya mengalami penyumbatan darah di otak.
"Yang diserang saraf motorik untuk menggerakkan kaki kiri. Disarani banyak terapi seperti jalan di batu kerikil," ujarnya.
Kursi roda tempat jualan
Perkenalannya dengan Supraptini (40) membawa kebahagian bagi dirinya. Ia kemudian mempersunting Supraptini pada 2009 silam. Wanita asal Solo, Jawa Tengah, itu menerima dirinya apa adanya.
"Kalau istri sudah ngerti sebelumnya. Sudah paham sama saya," tutur Kundiarto.
Setelah menikah, ia menggunakan kursi rodanya itu untuk berjualan keliling. Sebelumnya, sakit yang tak kunjung sembuh itu membuatnya terpaksa berjualan keliling membiayai hidup.
"Dulu sebelum nikah, bapak jualan sendiri pakai tongkat, jualan keripik diisi dalam kresek. Tapi memang tidak kuat, akhirnya pakai kursi roda jualannya setelah menikah," cerita sang istri, Supraptini.
Tiga tahun lebih menikah, keduanya belum dikaruniai anak. Pekerjaan mulia yang dilakoni sang istri sebagai penjaga panti asuhan terhenti sejak 3 bulan lalu. Sebuah musibah datang menimpa keluarga ini.
"Istri tadi kerja, sekarang kena musibah jatuh patah tangan. Sebelum jatuh, dulu ngurus anak yatim piatu," tutur Kundiarto.
Suka duka kehidupan jalan Ibu Kota memang tak bersahabat bagi kursi rodanya untuk keliling berjualan. Setiap hari, ia berangkat pukul 06.30 hingga pukul 18.00 untuk berjualan. Wilayah yang disusuri tidaklah pendek. Daerah seperti Kemang, Bangka, Kebagusan, Jagakarsa, paling jauh di Pancoran pernah dilaluinya. Jalan mendaki menjadi berat untuk mendorong kursi roda. Belum ditambah beban jualan yang dimuat di kursi roda itu.
"Kalau naik jalan tinggi enggak kuat, suka minta tolong sama orang," kenangnya.
Belum lagi pengemudi yang mengklakson ketika kursi rodanya menghalangi jalan. Semua itu dilaluinya dengan berserah diri.
"Saya tawakal aja gitu," ujarnya.
Jajanan ringan, parfum, rokok, hingga pulsa elektrik lengkap di kursi rodanya itu. Pendapatannya tak menentu. Ia hanya tahu, setiap bulan mulai tanggal 1 sampai 15 bisa memperoleh untung Rp 50.000 dari berjualan per harinya.
Namun, di atas tanggal 15, pendapatannya menurun menjadi Rp 10.000. Padahal, pria yang mengontrak di RT 10 RW 2 Gang Nangka, Pasar Kebayoran Baru, Cipete Utara, Jakarta Selatan, itu mesti membayar sewa kontrakan sebesar Rp 1 juta. Ia pun membanting tulang agar dapur dapat tetap mengepul asap, dan kontrakan bisa terbayar.
"Karena semangat dan tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga untuk menghidupi istri," ujar Kundiarto.
Kundiarto melanjutkan, ada yang bilang saraf yang menyerang kakinya itu 90 persen tidak akan mengembalikannya untuk berjalan normal. Namun, harapan dan cita-cita di matanya tetap ada. Ia memiliki harapan bisa melanjutkan kuliahnya yang pernah terputus.
"Saya juga punya cita-cita untuk bisa punya rumah sendiri," ujarnya mengakhiri.
Sarung tangannya menyentuh roda kursi yang menjadi tumpuannya menyambung hidup. Ia pun meneruskan aktivitas berjualannya memakai kursi roda, berjalan lurus di tepi Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, berteman dengan ramainya arus kendaraan.
Langganan:
Postingan (Atom)