Gunawan Supriadi pernah memiliki reputasi yang buruk. Pada masa
lalunya, ia dikenal sebagai ”preman” yang menguasai sejumlah lahan
perparkiran di Liwa, Lampung Barat. Namun, kini, warga lebih banyak
mengenalnya sebagai pengusaha kopi luwak yang amat disegani.
Gunawan merupakan salah satu produsen kopi luwak di Way Mengaku,
Liwa, Lampung Barat, dengan merek dagang Raja Luwak. Kopi luwak yang
dihasilkan lewat pemeliharaan luwak di pekarangan rumahnya kini mampu
menembus kafe-kafe mewah di Jakarta dan sejumlah kota besar di Tanah
Air.
Bahkan, kopi luwak yang dihasilkan dari ”kampung” ini menjelma
sebagai komoditas termasyhur di dunia. Bekerja sama dengan sejumlah
eksportir, kopi luwak yang dihasilkan itu kini dinikmati pencinta kopi
di beberapa negara, antara lain, Korea, Jepang, Hongkong, dan Kanada.
Kopi luwak produksi Gunawan telah menambah khazanah kekayaan
kopi-kopi eksotis Nusantara. Di mata dunia internasional, kopi luwak
asal Indonesia, khususnya dari Liwa, memiliki reputasi yang teramat baik,
bahkan disebut-sebut sebagai salah satu kopi termahal dan terlangka di
dunia.
Di luar negeri harga bisa mencapai Rp 5 juta-Rp 8 juta per kilogram
dalam bentuk bubuk. Bandingkan dengan biji kopi Hacienda dari Panama dan
kopi St Helena, Afrika, yang masuk di dalam jajaran kopi dunia termahal
dengan harga masing-masing Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta per kg. Gunawan
menjual kopi luwak dalam bentuk bubuk dengan harga tidak lebih dari Rp
600.000 per kg.
Nilai tambah
Selain mengharumkan nama daerah, bagi Gunawan, hal yang lebih penting
adalah keberadaan kopi luwak dapat memberikan nilai tambah, yaitu
penghidupan yang lebih layak bagi dirinya dan para perajin atau produsen
kopi luwak lainnya. Pada gilirannya, para petani kopi juga bisa lebih
terangkat kesejahteraannya.
”Usaha macam ini kan bisa mensejahterakan masyarakat yang
penghidupannya rata-rata masih morat-marit. Petani (kopi) pun jadi punya
uang tambahan di musim belum panen. Mereka tidak kesulitan harus
menjemur dulu kopi di musim (ekstrem) ini,” ujar Gunawan.
Ketua kelompok perajin kopi Raja Luwak ini sekarang membina dan
mengoordinasikan 10 produsen kopi luwak lainnya di Gang Pekonan, Way
Mengaku, Liwa. Sebagian besar di antara mereka adalah para pemula yang
tidak memiliki pasar ataupun merek dagang sendiri.
”Saya menampung sebagian kopi dari mereka, lalu membantu menjualnya,
terutama jika kebetulan ada pesanan yang besar,” ujarnya. Setiap perajin
diharuskan menyetor 5 kg kopi luwak dalam bentuk brenjelan (masih
berupa kotoran) dan pemotongan hasil keuntungan.
Iuran-iuran ini memiliki banyak fungsi, di antaranya bantuan pinjaman
permodalan, termasuk untuk membeli kandang dan luwak. Gunawan berpikir
sebaliknya jika dibandingkan banyak produsen kopi luwak yang
berpandangan bahwa usaha itu lebih baik dimonopoli mengingat kerasnya
persaingan.
Liwa akan dikenal sebagai sentra kopi luwak budidaya. Pada
gilirannya, Gunawan berharap usahanya juga akan menyelamatkan luwak yang
populasinya sempat terancam akibat diburu dan dibunuh. ”Luwak ini
dahulu sering dianggap hama karena suka menghabisi kopi. Di kebun-kebun
(kopi), mereka diracun pakai Timex (racun babi),” kisah Gunawan.
Gunawan mulai menekuni usaha kopi luwak ini sekitar tiga tahun lalu. Itu
berawal dari hobinya memelihara hewan-hewan liar, salah satunya luwak.
Dua luwak pertamanya diberi nama Inul dan Adam, mengambil nama pasangan
penyanyi dangdut beken dan suaminya. Waktu itu, luwak-luwak ini hanyalah
dipelihara.
”Luwak-luwak saya ini kemudian sering dipinjam seorang kawan. Ia
minta izin mengurus dan memberi makan kopi. Lalu, anehnya, kotorannya
kok dikumpulkan. Penasaran, saya lalu minta kenalan saya mengeceknya ke
internet, apakah kotoran luwak bisa dijual?” ungkapnya menceritakan
pengalamannya merintis usaha kopi luwak.
Dari penelusurannya, ia kemudian memperoleh informasi bahwa di China,
0,5 kg kopi luwak bubuk dihargai Rp 3,2 juta. Dia melihat ini sebagai
peluang usaha yang menjanjikan. Gunawan ketika itu masih bekerja
serabutan. Kadang sebagai petugas satpam, kadang mengumpulkan uang
parkir dari pasar-pasar. Ketika itu dia memiliki 16 anak buah.
Gunawan kemudian meminta anak buah dan jaringannya mencarikan luwak
sebanyak-banyaknya untuk dipelihara dan mencoba memproduksi kopi luwak.
Namun, pada awal usahanya, dia terganjal persoalan pemasaran. Ia
terpaksa menawarkan dagangannya dari pintu ke pintu kafe dan
hotel-hotel.
”Saya membawa langsung kopinya. Luwak yang masih kecil dan jinak pun
saya bawa. Itu agar mereka percaya kopi ini asli. Bukan sekadar bicara
(menawarkan) di internet,” ujarnya.
Perlahan tapi pasti, usahanya mulai berkembang. Jumlah luwak yang dipeliharanya bisa
mencapai 60 ekor saat musim kopi. Namun, saat ini yang dipelihara hanya
26 ekor. Sebagian luwak dia serahkan kepada perajin lainnya dan
dilepasliarkan ke alam. Rata-rata ia memproduksi 20 kg kopi bubuk dan 2
kuintal bentuk brenjelan tiap bulan.
Sempat masuk sel
Kini, setelah perlahan mulai mapan, dia meninggalkan pekerjaan
lamanya sebagai koordinator parkir. ”Usaha ini jauh lebih aman dan
menjanjikan, terutama untuk masa depan saya dan keluarga,” tutur pria
yang sempat dua kali masuk sel akibat perselisihan soal parkir ini.
Dari hasil usahanya itu, kini ia bisa membeli sebuah kendaraan dan tengah membangun kafe kopi luwak di rumahnya di Way Mengaku.
Usaha kopi luwak yang ditekuninya bersama belasan warga Way Mengaku
lainnya merupakan suatu bentuk kemandirian ekonomi masyarakat. Mulai
dari produksi, pengemasan, hingga pemasaran, semuanya dilakukan mandiri,
tak ada bantuan dari pemerintah ataupun pengusaha swasta.
”Dulu pernah ada pengusaha kaya dari Korea mau ikut usaha, memberikan
bantuan modal. Saya sempat ditawari menjadi manajer, tetapi kami
sepakat menolak. Kami khawatir nanti justru ’ditendang’. Meskipun kadang
sulit, setidaknya ini usaha sendiri. Daripada kita ’dijajah’ asing
lagi,” ujar Gunawan. ( Tribunnews )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar